PANGGILAN MENJADI NABI DI TENGAH DUNIA YANG RUSAK

 

 HARI MINGGU PEKAN II ADVEN, 04 Desember 2022

Yes. 11:1-10; Rom. 15:4-9; Mat. 3:1-12

 

PANGGILAN MENJADI NABI DI TENGAH DUNIA YANG RUSAK

 

Dunia ini semakin hari semakin bising. Manusia semakin sibuk dengan berbagai hal yang ditawari oleh dunia. Dengan kemajuan teknologi, semakin orang berjalan jauh sekalipun ia duduk di tempat. Dalam kondisi seperti ini, kita boleh bertanya, “Mungkinkah ada orang yang bersedia untuk diutus menjadi pewarta Sabda Tuhan/misionaris?” “Mungkinkah orang mendengar suara-suara kenabian dari para pewarta?” Apakah masih ada orang yang  tertarik untuk mendengarkan ajaran tentang keselamatan dan kehidupan kekal?”

Sangat boleh jadi di tengah penemuan teknologi yang canggih, telah membuat segala sesuatu berubah. Komunikasi menjadi begitu lancar dalam sedetik di seluruh dunia bisa tahu apa yang terjadi di belahan bumi lainnya. Seiring dengan itu, bisa saja suara kebenaran diredam dan realitas kejujuran tertimbun dalam lumpur manipulasi dan konspirasi kejahatan.

 

Pada hari ini Gereja merayakan Hari Minggu Advent kedua. Kita dihadapkan dengan tokoh Yohanes Pembaptis yang berani tampil melawan arus pada zamannya. Maka baiklah kita merenungkan tokoh nabi kontroversial ini dan belajar untuk meneladani sikap kenabiannya bagi diri kita di zaman ini.

 

1.    Yohanes Pemandi adalah seorang tokoh pendobrak kemapanan. Ketika manusia sedang menikmati dunia pada zona amannya, Yohanes tampil dengan seruan kenabiannya agar orang harus bertobat. Warta pertobatan yang disampaikan Yohanes sungguh mengganggu hati Nurani para pendengarnya, sehingga banyak orang menjadi sadar dan minta dibaptis, termasuk orang-orang Farisi dan orang-orang Saduki. Suara Yohanes Pembaptis semakin dirasa sangat mendesak sebab Yohanes sendiri tengah merasakan betapa kejamnya dunia yang sudah hancur dan dirusakkan oleh kejahatan dosa.  Kita masih merasakan sisa-sisa penderitaan karena bencana covid-19 yang melanda kita; badai seroja masih membekas dalam hati dan pikiran kita; gempa bumi Cianjur dan berbagai bencana lainnya masih meninggalkan trauma yang mendalam. Namun itu semua masih bisa diatasi, sebab sifatnya hanya sementara. Adakah kita sadar dan tahu ‘bencana terburuk’ apa yang sedang melanda dunia dan kita semua saat  ini?’ Sesungguhnya, bencana terburuk yang sedang melanda kita saat ini adalah “hilangnya rasa berdosa, rasa bersalah” di dalam hati dan diri manusia. Manusia tidak lagi merasa takut kepada Tuhan. Manusia merasa biasa-biasa saja melakukan hal-hal yang melanggar moral dan merugikan banyak orang. Mengambil barang orang bahkan dengan cara merampok dianggap hal biasa sebagai pilihan jalan mempertahankan hidup. Tindakan menelantarkan isteri dan anak-anak oleh seorang suami dan bapa, dianggap wajar karena ingin mencari ‘daun muda’ yang masih segar. Begitu juga seorang isteri/ibu meninggalkan suami yang sudah pikun dan peot beserta  anak-anaknya, dianggap hal biasa karena dulu dijodohkan. Orang merasa tidak butuh pertobatan. Ada yang merasa dirinya ‘tidak berdosa’, maka untuk apa mengaku dosa? Pasti di antara kita mengenal beberapa orang katolik yang secara terbuka dan di lingkungan sekitarnya tahu kalau orang tersebut hidup dalam dosa berat. Namun tanpa rasa bersalah ia menerima Komuni Kudus, Sambut Tubuh Tuhan, hal mana jelas-jelas melanggar hukum Gereja. Sakramen Pengakuan sudah kehilangan nilai dan daya Tarik penyembuhannya. Waktu yang disediakan untuk pengakuan diabaikan. Para imam didatangkan untuk membantu melayani Sakramen Tobat, namun karena merasa ‘diriku tidak berdosa’ maka sang pelayan ‘sampah’ itu pun pulang dengan kecewa.

Dampak dari pemahaman dan penghayatan nilai Sakramen Tobat yang kabur ini, dunia ini menjadi ambigu. Membingungkan. Ada standar moral yang dirumuskan secara baru sesuai dengan cita rasa pribadi atau kelompok. Moralitas tidak lagi didasarkan pada hukum Tuhan, melainkan pada desakan suara orang banyak. Mayoritas suara menjadi dasar standar moral: lihatlah, berapa banyak negara dan kelompok masyarakat yang melegalkan aborsi, hukuman mati, pernikahan sesame jenis. Paus Benediktus XVI mengecam Tindakan-tindakan amoral ini dengan istilah “kediktatoran relativisme”. Dalam situasi menyedihkan dan terporak-poranda ini, suara kenabian Yohanes Pemandi masih sangat relevan, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga sudah dekat.”

 

2.    Kita dipanggil untuk menyuarakan pertobatan pada zaman ini.  Kita semua adalah orang-orang yang sudah dibaptis, kita adalah orang-orang kristiani katolik. Kita harus mampu mewartakan pertobatan itu untuk diri pribadi dan orang lain, untuk anggota keluarga, rekan-rekan kerja, dan masyarakat agar membawa mereka kepada pertobatan. Pertobatan adalah jalan terbaik untuk menyambut kedatangan Tuhan yang kedua. Kita dipanggil untuk terus dan tetap menyuarakan seruan Yohanes Pembaptis pada zaman ini. Kita adalah ‘yohanes-yohanes pembaptis’ yang baru di lingkungan keluarga dan masyarakat zaman kita ini.

 

Natal sudah dekat. Natal akan sangat bermakna jika kita ada Bersama Yesus. Yesus harus lahir lagi di dalam hati kita. Hati kita bukan lagi seperti kendang hewan yang dipenuhi bau tengik dosa dan aroma kejahatan. Hati kita mesti menjadi sebuah ‘altar’ tempat Tuhan merayakan cintakasih-Nya yang menyelamatkan diri kita dan sesame. Maka masa adven menjadi momentum kita menggapai dan mendekap Kembali Yesus yang pernah hilang dari hati kita karena dosa dan kejahatan kita. Melalui Sakramen Tobat dalam masa adven ini, kita memperoleh kado natal terindah dari Tuhan yakni sukacita dan damai dari Tuhan yang sudah mengampuni dosa-dosa kita.

 

Amin.

Salam dan berkat,                              

    Pastor Paroki EKUKARDO,

           P. Kris Sambu, SVD

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INILAH TUBUH-KU, INILAH DARAH-KU

TERANG YANG BENAR MENGHALAU KEGELAPAN DOSA

BETAPA DAHSYATNYA DOA ITU