KITA PATUT BERSUKACITA DAN BERGEMBIRA KARENA YANG TELAH MATI KII HIDUP KEMBALI

Renungan Hari Minggu, 27 Maret 2022

Hari Minggu IV  Pra-Paskah

Yos. 5:9a.10-12;  2Kor. 5:17-21;  Luk. 15:1-3.11-32


"Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup  kembali, ia telah hilang dan didapat kembali" (Luk.15:32)


Hari ini Gereja merayakan Minggu IV Pra-paskah. Bacaan-bacaan suci yang menjadi pedoman hidup iman umat, bercerita dan mengisahkan tentang kebesaran Kasih Allah yang menyelamatkan umat manusia. Betapa pun besar dosa manusia, namun Allah yang penuh cinta itu selalu berusaha menawarkan rahmat keselamatan. Akan tetapi kisah kasih Allah itu justru menjadi buah perbantahan di antara manusia yang sama-sama berdosa, lemah dan tak berdaya. Itu berarti ada segelintir orang yang ingin memposisikan dirinya 'lebih' atau bahkan 'paling/ter- ' (baik, benar, suci, kudus, pantas, layak, jasa,....). Situasi itulah yang menyebabkan Yesus 'menembak' secara jitu terhadap kelompok yang suka 'bersungu-sungut': yakni orang-orang farisi dan ahli-ahli taurat karena perhatian Tuhan yang mengasihi kelompok yang diremehkan, yakni para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. "Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka."

Kelompok pemungut cukai dianggap sebagai pengkhianat bangsa Yahudi karena telah melakukan penagihan pajak yang memperkaya pemerintahan Romawi sebagai penjajah mereka. Maka wajar saja kelompok ini dianggap sebagai orang berdosa, sama seperti orang-orang berdosa lainnya yang tidak pantas masuk di Bait Allah, bergabung dengan orang-orang benar dan saleh seturut pandangan mereka. Sementara itu, di pojok lain ada yang melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan hukum dan moralitas, tetapi mereka tidak dapat disentuh apalagi dikeritik karena posisi sosial mereka. Mereka adalah kaum elitis, orang-orang terpandang dan sendiri sudah melegitimasikan dirinya sebagai orang saleh dan benar. Ini sesungguhnya sangat disayangkan oleh Yesus dan para nabi sebelumnya.

Yesus mengemukakan perumpamaan tentang anak hilang sungguh sarat makna, jika direnungkan dengan seksama dan dihayati di dalam hidup dengan baik. Kisah anak hilang sejatinya berbicara tentang seluruh kisah hidup manusia pada umumnya: yang berdosa dan yang anggap diri tidak berdosa; yang tidak patuh/taat dan yang anggap diri paling patuh/taat; yang tidak setia dan yang anggap diri setia, dan seterusnya. Yang patut dipetik nilai dari perumpamaan ini adalah pertama, kasih Allah yang tidak pernah berubah, sekalipun manusia berdosa. Kedua, menyoroti sikap manusia untuk berubah dan bertobat dalam sebuah proses.

Yesus melalui perumpamaan yang disampaikan-Nya hendak menghadirkan sebuah perubahan mendasar di dalam hati manusia (berdosa). Sebetulnya perubahan yang menjadi fokus utama adalah di dalam diri para pemimpin Yahudi, ahli taurat dan orang-orang farisi. Sebab mereka sudah terlanjur menganggap diri sebagai kaum elitis yang tidak dapat salah, yang selalu benar dan sempurna menjalankan hukum taurat. Akhirnya mereka menjadi 'kaku' dengan segala peraturan dan kehilangan 'rasa belas kasihan' terhadap orang lain, terutama yang terpinggirkan.

Kisah anak hilang memperlihatkan sikap Allah yang menghargai kebebasan manusia. Hal itu ditunjukkan melalui sikap bapa yang menyetujui permintaan anak bungsunya untuk membagi 'harta kekayaan' yang menjadi warisannya. Dia ingin mandiri dan berusaha untuk tidak bergantung kepada orangtua dan sanak kerabat lainnya. Dia ingin sendiri. Kebebasan mutlak dituntutnya dan bapa menghargainya. Ini sebetulnya gambaran Allah yang menghargai kebebasan manusia di dalam hidupnya, termasuk ingin jauh dari Allah.

Ternyata kebebasan mutlak yang didambakan untuk memiliki, mengelola hartanya, hidup tanpa dikendalikan oleh orangtua dan kerabat membawa masalah baru jika tidak dikatakan bencana, sekalipun pada akhirnya menjadi bencana juga. Ia justru 'dikuasai' oleh hartanya (gila harta). Hartanya menyeretnya pada jurang kehancuran, "Ia menjual seluruh harta yang menjadi bagiannya dan pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya."  Harta kekayaan dapat menyeret kita kepada kehancuran jika kita tidak tahu cara mengelolanya secara benar, bagaimana harus memanfaatkannya secara tepat.

Kehancuran hidup dengan jatuh di dalam kemiskinan menjadi titik balik untuk bertobat. Kesadaran baru perlahan mulai bertumbuh, kemudian membangun niat untuk kembali kepada bapakya. Kisah si bungsu berkisah tentang situasi masa kini juga:

- Orang yang tadinya menuntut hak dan warisannya dengan segala keangkuhanya, kini menjadi seorang peminta 'kerja' pada seorang majikan demi menyambung hidupnya.

- Orang yang dulu hidup di dalam kemewahan dan bergelimang harta, kini hidup melarat, bahkan untuk makan saja harus mengemis ampas pakan babi.

- Orang yang tadi dikelilingi banyak teman karena banyak harta, kini hidup menyepi seorang diri dalam kesedihan yang tiada bertepi.

- Tadinya berpredikat sebagai anak seorang tuan, kini menjadi seorang penjaga babi, yang bagi sebagian orang menganggapnya sebagai binatang haram.

Situasi melarat membangun kesadaran baru. Ingat rumah, ingat bapa dan orang-orang yang mencari duit di rumah bapa, ingat kakak yang masih tetap setia di rumah dengan bapa....lalu mengapa saya hidup sengsara di sini....untuk mendapatkan makan dari pakan babi pun tidak diberi. Sangat menyedihkan. Inilah yang mendorong anak itu nekat pulang sekalipun akan ditolak, sekalipun hanya dijadikan hamba, asal saya pulang ke rumah bapa. "Maka, bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya."

Kita semua tidak luput dari kemelaratan hidup karena dosa-dosa kita. Akankah kita tetap tinggal di dalam dosa, ataukah kita bangkit dan kembali kepada Bapa yang penuh pengampunan?

Hati Allah dilukiskan seperti hati bapa yang mengasihi anaknya itu. Tidak peduli apa kesalahan anaknya, dia tunggu siang malam menantikan kepulangan anaknya. Sang bapa yakin, suatu saat dia akan sadar bahwa kebebasan yang dituntutnya dulu sudah menjadi bumerang baginya. Oleh sebab itu dia pasti pulang. Demikian Allah punya keyakinan bahwa sebesar apapun dosanya, manusia akan bertobat, dan jika manusia bertobat Allah pasti mengampuninya.

Situasi hidup sosial masyarakat selalu menjadi tantangan juga bagi banyak orang. Sekalipun saudara sekandung, sekalipun sahabat kental, masih ada rasa cemburu, ada keinginan untuk menuntut hak balas jasa lebih dari yang lain, apalagi yang berdosa seperti anak bungsu itu. Inilah yang terkadang hidup ini seperti masih tersimpan duri di dalam daging. Ternyata 'si anak sulung' diam-diam ada bersama bapanya, tetapi punya perhitungan 'keserakahan' yang luar biasa. Kenyataan adiknya pergi adalah sebuah peluang baginya untuk meraup seluruh harta kekayaan bapanya, sebab tinggal dia yang berhak. Sukacita kehidupan persaudaraan di dalam keluarga sirna gara-gara adiknya pulang. Tersulut lagi api cemburu itu, sang ayah mengadakan pesta bagi anaknya yang brengsek. Ia yang setia (menurut kata hatinya) tidak pernah dipestakan atau setidak-tidaknya diberi seekor anak kambing untuk minum-minum (moke) dengan teman-temannya. 

Sikap si anak sulung inilah yang telah ditunjukkan oleh orang-orang farisi dan ahli-ahli taurat. Mereka dekat dengan bait Allah, tahu hukum dan peraturan, tetapi ingin memiliki sendiri rahmat keselamatan. Lalu menyingkirkan pemungut cukai dan orang berdosa. Kehadiran Yesus yang duduk makan bersama para pemungut cukai dan pendosa telah menyulut api cemburu.

Hati Allah adalah hati seorang Bapa yang merangkul dan menyelamatkan semua orang. "Baik anak sulung maupun anak bungsu. Baik yang setia maupun yang tidak setia". Itulah sikap Allah yang mencintai dan mengampuni. 

"Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali." Kata-kata yang sangat menyejukkan hati ini mestinya disadari oleh anak sulung (orang yang selalu anggap diri benar) bahwa sesungguhnya 'engkau juga sedang dalam situasi hilang. Kalau adikmu hilang keluar rumah, sedangkan dirimu hilang di dalam rumah.' Yang bungsu hilang keluar, yang sulung hilang ke dalam. 

Sukacita itu menjadi sempurna, perjumpaan itu pantas dirayakan, jika ada suasana pengertian, suasana pengampunan, suasana saling mengasihi. Sebab setiap manusia pernah mengalami "situasi hilang" entah sebagai anak bungsu maupun sebagai anak sulung. Namun kita mempunyai Bapa yang satu dan sama yang sangat mengasihi kita.

Maka marilah kita di dalam masa tobat ini, memohon rahmat Roh Kudus agar menyadarkan  kita akan kerapuhan diri kita sendiri. Jika kita tahu diri sebagai orang berdosa, maka tidak beralasan kita bersungut-sungut tentang sesama/saudara kita. Kita bersyukur tetap memiliki seorang Bapa (Allah) yang mengasihi dan mengampuni. 


Salam dan berkat,

Pastor Paroki EKUKARDO,

P. Kris Sambu, SVD     

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

INILAH TUBUH-KU, INILAH DARAH-KU

TERANG YANG BENAR MENGHALAU KEGELAPAN DOSA

BETAPA DAHSYATNYA DOA ITU