BUDAYA DAMAI, BUDAYA ANTI KEKERASAN
Gagasan ini berdasarkan KEARIFAN LOKAL masyarakat Keo Tengah.
Adalah kerinduan dasar manusia untuk hidup di dalam suasana perdamaian, kerukunan dan persaudaraan. Untuk itu selalu diusahakan agar jangan terjadi benturan atau perselisihan dalam kehidupan bersama, baik di dalam rumah tangga, maupun di dalam masyarakat umum.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam kehidupan bersama itu sering terjadi perselisihan, bahkan terjadi kekerasan yang dapat mengakibatkan berbagai situasi permusuhan, balas dendam dan kebencian. Oleh sebab itu, di dalam kebudayaan yang cinta damai, memiliki beberapa media rekonsiliasi atau perdamaian itu.
Kami memberikan beberapa contoh permasalahan yang sering terjadi dan bentuk penanganan atau usaha pendamaiannya.
1. Masalah "Tana Watu". Biasanya masalah tanah berkaitan dengan batas-batas tanah kepemilikan. Apakah ada unsur kesengajaan atau faktor lain, batas-batas tanah sering digeser dengan cara menanam pohon atau sejenis tanaman tertentu melewati batas tanahnya sendiri. Ini yang disebut "pi singi, rete ra'i". Artinya ada tindakan penggeseran batas (pi singi) dan membuat batas baru (rete ra'i). Untuk menentukan kembali batas yang tepat dan seharusnya, biasanya melibatkan suku, tuan tanah (ine tana ame watu= ibu tanah, ayah batu). Karena tanah yang dimiliki umumnya tanah ulayat. Keputusan mosalaki (tua adat) pada prinsipnya, membawa kembali sua belah pihak yang berselisih untuk saling menerima apa yang menjadi haknya, jangan mengambil lebih apa yang menjadi hak orang lain. Untuk segala kesalahan atau kekeliruan yang telah terjadi, mereka didamaikan kembali secara adat. Tujuannya adalah supaya "mbana ma'e sede rada, dora ma'e mati nete". Artinya supaya dalam kehidupan sehari hari jangan lagi saling dendam, bertemu di jalan jangan saling menghindar (mbana ma'e sede rada) dan tidak ada kiat untuk membalas dendam di kemudian hari (doa ma'e mati nete).
Biasanya kedua belah pihak menanggung konsumsi untuk makan bersama semua yang terlibat, ada yang tanggung babi, ada yang tanggung beras, tuak, rokok, dll.
2. Masalah "Kekerasan Fisik" (Koso fo, ngeli baja)
Dalam kehidupan sehari-hari mungkin terjadi kekerasan fisik. Terjadi perkelahian antar pribadi atau kelompok. Atau juga kekerasan oleh "guru terhadap anak didik".
Jika ada permasalahan semacam ini, usaha rekonsiliasinya biasanya melibatkan keluarga, mosalaki (hukum adat) atau pun kepala dusun (unsur pemerintah sipil). Setelah melihat duduk persoalan yang terjadi, korban harus diberi pengobatan, atau misalnya kasus anak didik yang dipukul gurunya, sebagai orangtua, sang guru meminta maaf dan memberikan penghiburan bagi anak didiknya. Dalam kasus seperti ini, ada istilah yang dikenal "Koso fo, ngeli baja".
Koso fo artinya gosok atau urut kembali bekas pukulan yang membengkak.
Ngeli baja artinya memijat kembali bekas pukulan itu agar normal lagi
Sangsinya biasanya berupa sejumlah uang untuk pengobatan.
3. Waja ndate (pemulihan nama baik)
Kasus ini merujuk kepada kekerasan verbal, perkataan yang menghina dan meremehkan martabat seseorang (si'i sodhe = kata-kata penghinaan).
Melibatkan mosalaki (tua adat). Pelaku diberi sangsi harus memberi satu lembar kain (sarung tenun adat) sebagai simbol permohonan maaf dan menyatakan dirinya sudah bersalah.
4. KEPU DONGGO ( Pemulihan nama baik terhadap orang tua atau orang yang lebih tua atau jabatan lebih tinggi)
Kasus semacam ini biasanya terjadi di dalam rumah tangga, misalnya seorang anak sudah bertindak kasar dan menghina terhadap orangtuanya sendiri, caci maki, memukul, dsb.
Atau mungkin antar kekerabatan sudah terjadi kekerasan dan penghinaan terhadap yang lain.
Atau antar rekan kerja (guru misalnya). Seorang guru melakukan kekerasan verbal atau fisik terhadap kepala sekolah, atau antar rekan guru.
Terhadap kasus semacam ini, melibatkan mosalaki, bisa unsur pemerintah, tergantung kesepakatan dengan itikad baik untuk berdamai. Ritual pendamaian ini yang disebut "KEPU DONGGO". Artinya mengembalikan martabat harga dirinya sebagai orang tua, pejabat, sebagai tokoh masyarakat, dsb.
Sangsi material: satu ekor babi yang disembelih untuk makan bersama, dan satu lembar kain tenun (sarung) untuk memulihkan harga diri dan permohonan maaf.
Pihak yang menjadi korban, jika menerima permohonan maaf dari pelaku, maka ia akan memberikan "berkat pengampunan" (nete niro wado).
Kedua belah pihak menyatakan perdamaian itu bukan hanya di mulut, tetapi datang dari hati yang paling dalam. Melupakan segala sesuatu yang telah terjadi ibarat "mese ne'e dera, wa ne'e ae = terbenam bersama matahari, dan meresap bersama air).
IMPILKASI DALAM SAKRAMEN REKONSILIASI (PENGAMPUNAN) DALAM GEREJA KATOLIK?
Secara budaya masyarakat Keo Tengah dengan kearifan lokal yang ada selalu berusaha menjaga persekutuan kasih persaudaraan, hidup dalam damai dan kerukunan. Namun, kenyataan tidak seperti yang dibayangkan. Masih ada perselisihan, permusuhan dan kebencian, pertikaian dan balas dendam. Maka kearifan lokal, budaya Keo Tengah menyediakan sarana-sarana pendamaian itu, sebagaimana dibahas di atas.
Apakah budaya Keo Tengah dalam usaha rekonsiliasi perdamaian, masih sejalan dengan visi pengampunan di dalam Gereja katolik (Sakramen Pengampunan)?
Mengakui kesalahan oleh peniten dan absolusi pengampunan dari Tuhan (dalam diri imam) bukankah itu sebuah tindakan rahmat keselamatan? Pengampunan yang terjadi dari hati yang tulus ikhlas harus sungguh-sungguh terjadi ada penyesalan dan berkat (mese ne'e dera, wa ne'e ae).
Ka-Redong, 02 September 2021
Komentar
Posting Komentar